Ia tak dikenal banyak orang. Tak duduk di kursi empuk. Tak diberi panggung saat kebenaran terungkap. Ia adalah seorang wartawan dari tanah Serambi Mekkah—berjuang di tengah bayang-bayang intimidasi dan ancaman demi satu hal: kejujuran, untuk keluarganya, dan untuk kita semua.
Namun di tengah perjuangan itu, nama “wartawan” justru tercoreng. Bukan oleh mereka yang setia pada kode etik, tetapi oleh oknum nakal yang menjual pena demi kepentingan pribadi. Akibatnya, stigma pun menyelimuti seluruh profesi. Seolah semua wartawan bisa dibeli. Seolah semua media bisa dibungkam.
Lalu bagaimana nasib mereka yang jujur? Yang hidupnya bergantung pada gaji tak seberapa, tapi tetap teguh tak menunduk pada kekuasaan? Mengapa suara mereka ikut dibakar dalam bara fitnah dan penggiringan opini? Di mana keadilan informasi, bila semuanya dibumihanguskan demi memberi jalan bagi golongan elit yang ingin korupsi dengan leluasa?
Hari ini, kami angkat kembali kisah itu. Bukan untuk meminta simpati. Tapi agar publik tahu: tak semua wartawan itu sama. Dan selama masih ada satu suara yang jujur, maka belum semua harapan padam.